BELAJAR PADA NIETZSCHE, AUTO KRITIK
RELIGIUSITAS
“Seringkali
perangkat pengetahuan yang manusia miliki membuatnya memberi penilaian kepada
orang lain dan mengecapnya baik-buruk. Atau kegemaran manusia untuk
menghierarkikan status social sebagai yang mulia–yang hina, budak-tuan,
patron-klein, dan dikotomis atas-bawah lainnya. Dengan pemberian nilai seperti
ini selalu ada saja orang yang mendapatkan keuntungan dan yang lainnya
kebuntungan.”
*****
Orang
yang fanatik pada agama benci sekali membaca pemikiran Nietzsche. Kenapa?
Karena Nietzche menulis kalau dia sudah membunuh “Tuhan”. Nietzsche bagi orang
fanatik agama sejenis manusia yang paling terlaknat di dunia, karena telah
berlaku kurang ajar, tidak sopan, dan
sok berani kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa makhluk tak
berdaya membunuh Tuhan yang Maha Perkasa? Salah seorang dosen saya (seorang
Nasrani) juga dulu ketika membahas Nietzsche dia bilang kalau Nietzsche itu
orang gila dan sakit mental. Dia benci dan tidak ingin membahasnya. Tidak hanya
Netzsche, ada lagi filsuf lainnya dan lebih terkenal, yaitu Karl Marx. Orang
fanatic pada agama juga membenci dia gara-gara Marx menulis kalau agama itu
candu. Kecanduan berarti ketagihan. Pada hal yang membuat ketagihan itu rasanya
seperti mabuk yang menyebabkan seseorang tidak bisa mengontrol diri dan
terus-terusan ingin mengkonsumsinya. Padahal “mabuk” itu haram dan dilarang
dalam agama (Islam).
Tidak
hanya pada dua tokoh ini orang fanatik agama sangat sentiment, semakin kesini
semakin banyak yang dibenci, termasuk kepada mereka yang tidak mempercayai
Tuhan (atheis), kepada mereka yang berbeda agama, kepada mereka yang berbeda
madzhab, kepada mereka yang mendukung komunisme karena bagi mereka komunis
adalah atheis secara otomatis, juga membenci liberalisme karena itu pemikiran
dari dunia barat yang artinya segala yang dari barat itu semuanya kafir.
(beberapa pandangan orang Islam). Tapi herannya mereka tidak membenci
kapitalisme padahal itu datanganya dari barat. Tidak pernah terdengar kalau
seorang kapitalis adalah atheis. Maka bagaimana jika saya ajukan sebuah tesis
bahwa kemungkinan kapitalis adalah politheis?
Seringkali
manusia fanatik alergi membaca sesuatu yang bisa menggoyahkan keyakinannya,
karena ide bisa membuat orang menjadi murtad dan kafir. Lalu kemudian membatasi
bacaan dan lingkungan sehingga dapat menjaga sterilnya keimanan. Saya teringat
suatu waktu teman berdebat mengenai upaya sterilisasi makanan pada bayi agar
tehindar dari penyakit. Sang anak kesehatan mengatakan segala buah dan sayuran
harus dicuci berkali-kali untuk membersihkan dari kotoran dan juga kemungkinan
bahan kimia yang tertinggal sewaktu pemupukan. Piring dan gelas harus dicuci
dengan air mendidih, jika perlu masak di dalam panci, dsb. Banyaknya
aturan-aturan yang diajukan anak kesehatan, membuat teman yang lain hanya
nyeletuk “saya dari keluarga miskin dari kecil main di tanah dan lumpur, masih
sehat dan kuat sampai sekarang”. Ini sebenarnya contoh yang tidak nyambung
dengan tema yang dibicarakan sebelumnya, hanya ingin menunjukkan poin utama
bahwa cara pandang yang kaku dan
terbatas justru membatasi manusia untuk bisa lebih berkembang dan bercakrawala
luas. Pandangan Plato tentang pengetahuan adalah identik dengan kebaikan sebab
mustahil sebuah pengetahuan adalah hampa kebaikan. Maka, apapun status sosial
yang dicapai baik dari garis akademik ataupun dari budaya jika korupsi maka
bukan orang yang berpengetahuan. Kata Plato demikian.
Ada
sebuah hadits: “Jangan melihat siapa yang bicara tapi simaklah apa yang
dibicarakannya”. Ini menunjukkan bahwa manusia hendaknya tidak membatasi
menimba ilmu dari siapapun, sebab bisa jadi dari orang yang buruk rupa dan
paling jahat di dunia sebuah pelajaran berharga bisa didapatkan. Barangkali
pada momen ini kita bisa lihat kenapa Nietzsche terlaknat itu bisa membunuh
Tuhan.
Nietzsche
sesungguhnya berasal dari keluarga bangsawan bahkan seorang kakeknya adalah
agamawan Kristen. Sejak kecil hingga dewasa ia bersekolah di sekolah yang
unggul (seminari) dan mendapat pengetahuan yang baik. Dalam hidupnya tidak ada
persoalan finansial ataupun tekanan politik. Hanya dia mengidap penyakit
seperti kakeknya, yang menyerangnya di bagian otak. Penyakit ini didapatkannya
secara genetika. Kehidupan yang datar dan tidak adanya guncangan yang berarti
dalam kehidupan memang tidak lalu membuat orang tidak berubah menjadi orang
besar atau terkenal atau bintang. Berbeda yang diyakini banyak orang bahwa
biasanya ada sesuatu peristiwa besar yang membawa manusia pada titik nadir
sehingga darinya ia mendapatkan ilham dan menjadikannya orang yang besar,
bangkit dari keterpurukan. Kalau menurut kawan saya orang bule, siapa sih orang
di Eropa yang tidak membaca Nietzsche. Bukunya dicetak berkali-kali, diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa, serta dihujat dan dipuji secara bersamaan. Kenapa dia
menjadi terkenal? Sebenarnya bukan hanya karena dia “membunuh Tuhan” namun juga
pandangannya tentang manusia yang terkenal; Übermensch atau Super Human
(Manusia Super/unggul/tangguh, dll).
Bagi
Nietzsche, seringkali perangkat pengetahuan yang manusia miliki membuatnya
memberi penilaian kepada orang lain dan mencapnya baik-buruk. Atau kegemaran
manusia untuk menghierarkikan status social sebagai yang mulia–yang hina, budak-tuan,
patron-klein, dan dikotomis atas-bawah lainnya. Dengan pemberian nilai seperti
ini selalu ada saja orang yang mendapatkan keuntungan dan yang lainnya
kebuntungan. Seorang yang dianggap baik akan dihormati di masyarkat dan yang
dicap buruk akan dibully di
kehidupannya. Sebab yang dianggap baik adalah yang memiliki gelar bangsawan,
maka seumur hidup mereka mendapatkan hak istimewa di masyarkat. Sedang mereka
yang dari keluarga biasa hidupnya biasa-biasa saja tanpa hak istimewa. Atau
dalam dunia akademik biasanya yang punya banyak gelar karena menempuh
pendidikan formal (atau karena membayar lebih untuk jalan pintas) akan dianggap
orang yang berwawasan luas dan mendapat tempat istmiewa dalam pandangan
masyarkat, sedang yang tak menempuh pendidikan formal dianggap orang biasa tak
intelek. Demikianlah sifat manusia yang suka sekali memberi penilaian akhirnya
tanpa disadari cara berpikir demikian telah menciptakan bentuk penindasan baru.
Sebab bermuala dari ide/gagasan akan berimplikasi panjang dalam kehidupan
social.
Sistem
nilai ini manusia dapatkan dari agama, budaya, ideologi, peraturan Negara, dll.
Itu sebabnya, bagi Nietzsche, manusia yang merdeka adalah manusia yang bisa
membebaskan dirinya dari tekanan pengetahuan/konsep nilai-nilai itu. Maka dia
kemudian dengan bangga memproklamirkan nihilism, artinya paham tanpa nilai. Dia
tidak percaya pada agama, budaya, kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan
isme-isme lainnya. Dia hanya percaya pada dirinya sebagai sumber pengetahuan.
Saya mengetahui apa yang saya inginkan, maka egoisme adalah pengetahuan paling
tertinggi.
Ia
mengkritisi manusia yang hipokrit, tidak satu kata dan perbuatan. Pertanyaan
Nietzsche, jika manusia itu terlahir setara kenapa umat beragama seringkali
mempraktikkan hal yang berbeda dari prinsip itu dan menindas satu sama lain?
Kenapa manusia menggunakan otoritasnya untuk mengecap orang lain jahat, hina,
dll untuk mengamankan posisinya dan mengambil keuntungan? Itu sebabnya dengan
nihilism, tak perlu takut untuk berbuat buruk karena buruk itu tidak ada. Dia ada
dalam gagasan orang yang takut pada sesuatu di luar dirinya. Hidup hanyalah persaingan, jika
menang itu karena manusia itu kuat. Tapi jika kalah, itu karena kemalasannya.
Tidak perlu bersembunyi pada system nilai agama, ideologi, dsb. Tidak perlu
menyalahkan pada yang lain, salahkanlah diri yang lemah dalam menghadapi
pertarungan hidup.
Dalam
agama, sumber kebenaran tertinggi adalah Tuhan. Karena menafikkan itu, Itu
sebabnya dia menulis, saya telah membunuh Tuhan.
*Penulis adalah orang yang fanatik pada islam
******
0 comments:
Post a Comment