Bahaya Laten Literalis
Dalam Beragama
“Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam
Saudi Arabia, bukan berarti kalau tidak pakai jubah dan sorban Islam kita tidak
diterima. Rasulallah SAW memakai jubah, sorban dan
berjenggot ya karena tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian
yang sama, berjenggot pula. Bedanya kalau Rasul wajahnya mesem (sarat senyum) karena menghargai tradisi
setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya kereng (pemarah). Silahkan mau pilih yang mana?”
(Gus Mus)
(Gus Mus)
Untaian kata yang
disampaikan Gus Mus ini seakan menyadarkan kita tentang keberagamaan beragama. Namun
terkadang kita melupakannya. Tidak sedikit dari kita yang terjabak dalam
hegemoni kearaban. Memandang segala sesuatu dari kulitnya. Membaca ayat dari
hurufnya, tanpa mau mentadaburi isi dan kandungan yang tersirat di dalamnya.
Cara pandang kaum
neo-literalis, mereka lebih merujuk pada literal teks dari
pada meaning dari teks tersebut. Bahkan mereka mengklaim bahwa apa yang
mereka lakukan, dari segi berpakaian (dress style), fashion maupun
tingkah laku semua berdasar dari tuntunan al-Qur’an. Bahkan lebih dari itu,
mereka mengkritik rasionalitas kaum modern dan nilai-nilai yang bias
dengan ‘euro-centricity’. Mereka sangat menentang barat, khususnya
mengenai sistem demokrasi. Menurut mereka, sistem demokrasi sangat bertentangan
dengan sistem islam. Lebih dari itu, bagi mereka pemerintahan, kekuasaan, dan
kedaulatan (al-hakimiyah, wa al-tasyri’, wa al-siyasah) adalah hak priogratif
Tuhan dan bukan urusan manusia. Sehingga tidak heran jika banyak dari
teman-teman kita yang terjebak dalam pemahaman
literal. Sebut saja teman sebangsa kita yang ikut perang di Suriah. Mereka ikut
membunuh dan menembak orang-orang yang tak bedosa atas nama agama.
Mereka mengatasnamakan
perjuangan mereka atas nama jihad. Dengan melandaskan perbuatanya pada ayat
al-Qur’an, yang disebut dengan “ayat pedang” (the verse of sword). Dalam
Q.S 9:5 disebutkan “bunuhlah kaum musyrik dimanapun kamu temukan
mereka”. memang tidak
salah seorang muslim melandaskan perbuatannya dengan dalil al-Qur’an. Namun menjadi
masalah ketika pemahamannya itu dilakukan secara literal. Padahal selain ayat
itu, al-Qur’an juga menyerukan perdamaian dan kesantunan kepada orang-orang
yang berbeda agama. Q.S. 2:256, “tidak ada paksaan dalam
beragama”. Artinya, dalam hal ini pemahaman ayat bukan dilakukan secara
literal, tetapi maknawi. Abdul Karim Soroush mengatakan bahwa
teks al-Qur’an dapat dilihat dari dua fungsi: fungsi esensi (essential
function) dan fungsi aksidental (accidental function). Fungsi
esensi merupakan makna literal dari suatu teks, sedangkan fungsi aksidental
adalah relativitas penafsiran yang dipengaruhi oleh budaya, sosial, dan
perkembangan sejarah. Kedua fungsi ini saling berkaitan, menghentikan
makna lama dan melahirkan makna yang baru.
Namun sayang, tidak
banyak orang yang paham tentang makna substansi agama. Sehingga yang lahir
adalah pengagungan pada nilai-nilai simbolik. Bearagama menjadi momok yang
menakutkan. Karena agama manusia saling bertikai, karena agama pula manusia
saling membunuh. Alhasil tak jarang dari mereka yang lari dari agama. Bagi mereka,
lebih baik meninggalkan agama dari pada beragama tetapi membunuh. Jika demikian
jadinya, Lantas apakah semua ini salah agama atau kita yang salah memahami
agama?.
“Manusia-manusia congkak. Berbaju secuil
kekuasaan kerdil –sangat pandir tentang apa yang diyakininya. Belang meliar
–laksana kera berang. Bermain sulap digerbang surga. Sehingga membuat malaikat
bercucuran air mata”.
(Shakespeare : 1975, 182)
Moderator : Muhammad Reza Fahlevi
ReplyDeleteNarasumber : Mughzi Abdillah
Notulen : Martha Listyowati
Respon
Kak may : “ Piagam madinah hampir menyerupai dengan pancasila, apakah ada sesuatu pelanggaran yang mereka lakukan di luar islam?”
Bg Mughzi : “ Beberapa perjanjian pernah terjadi pelanggaran oleh yahudi pada masa itu. Dimana pada saat itu umat muslim angkat senjata. Hal itu terjadi dikarenakan ketika Madinah menjadi pusat peradaban yang dimana ada persamaan derajat dan hidup antara Islam dengan agama lain.”
Kak may : “ Sedangkan di Indonesia sendiri kita memiliki landasan Pancasila yang menyerupai seperti dengan Piagam Madinah, tetapi pada masa sekarang posisi pemerintah tidak mencerminkan landasan tersebut. Apa yang dapat dilakukan masyarakat dengan kondisi seperti ini?”
Bg Mughzi : “ Sebenarnya kita dapat mencotoh sikap Nabi Muhammad yang kita junjungi. Yang dimana beliau saling toleransi. Tapi pada saat sekarang ini semakin banyak orang pintar yang datang dengan melakukan reformasi mereka sendiri dan mendokrin dirinya lah yang benar kepada masyarakat di sekitarnya. Adapun beberapa paham masuk ke Indonesia seperti paham liberal. Harapan nya kita dapat menyikapi dengan baik semua hal yang terjadi sekarang dengan mengetahui bahwa negara kita memiliki tradisional.”
Kak Aisyah : “ Tambahan dari saya dimana saya pernah membaca sebuah cerita tentang sahabat rasullullah tentang tradisi perang pada zaman dulu yang dimana one by one. Pada saat itu Ali bin Abi Thalib sebagai wakil dari nabi dan seorang kafir Quraisy. Akhirnya Ali memenangkan perang tersebut, dan datang lah kafir Quraisy itu bertanya ke Ali : kenapa tidak kau bunuh saja aku?. Ali pun menjawab karna aku berperang karena Allah swt bukan nafsu ku. Akhirnya kafir Quraisy tersebut pun mengucapkan kalimat syahadat dan memeluk islam hingga akhir hayat nya. Ketika kamu mau ketahui kebaikan, maka kamu cari tau dan jalanilah kejahatan, biar pada akhirnya kamu dapat mem filter yang terbaik untuk dirimu.”
Moderator : “ Memang seharusnya kita memiliki sikap toleransi dalam beragama. Tetapi ketika syi’ah mulai masuk ke Indonesia. Toleransi seperti apa yang harus kita berikan ke mereka?”
Kak Aisyah : “ Semua dari khalifah pada dibunuh, terkecuali Abu bakar karna didalam nya dapat kita tarik sebuah teori kospirasi. Terkadang peduli apa dengan semua perbedaan yang ada. Tapi kenapa itu semua menarik diri kita untuk memerangi mereka? Pernah kah kita mendengar sejarah Soekarno ‘terserah saya berteman dengan siapapun, tapi diri saya adalah Indonesia.’ Terkadang akan kah kita tau bahwa usia yang tertua berasal dari Gunung Kidul yang dimana mereka hidup dengan alam tetapi mereka tetap bisa hidup walau miskin sekalipun, jadi islam yang benar itu seperti apa? Fokus dengan realitas diri sendiri.”
Raisya : “ Hidup dari kekalahan, manusia terlalu takut terhadap tentang apa yang tidak mereka ketahui, sehingga orang yang berjubah itu menjadi liberalis.”
Moderator : “ Terkadang kebenaran absolute itu terdapat di Tuhan sedangkan yang lain tidak benar. Sekian dari diskusi malam hari ini, terima kasih kepada narasumber dan semua yang hadir. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah yang baik dari diskusi malam ini. Wassalam. “