Gejolak
Politik di Timur Tengah
by: Mutmainna Syam
(Mahasiswi Program
Master Gazi Üniversitesi, Türkey)
Timur Tengah sejak tahun 1904 telah
disinggung oleh Mackinder sebagai bagian dari Heartland (pivot area),
area yang sangat penting untuk menguasai dunia. Menurutnya, who rules the eastern Europe, rules the
heartland, and who rules the heartland rules the world. Tidak menjadi
sebuah tanda tanya besar mengapa pergolakan terus saja terjadi di wilayah Timur
Tengah (Far East, Middle East, West Asia). Teori ini meskipun banyak
menuai kritik, namun menjadi sebuah pengaruh yang besar terutama pada USSR yang
pada tahun 1909 yang terus melebarkan kekusaanya dan menaklukan wilayah-wilayah
di Asia Tengah dan Eropa Timur. Teori ini telah menjadi pegangan yang kuat
terutama jika kita mencermati pernyataan resmi dari G. W Bush pada tahun 1990:
“for most of the century, the United States has deemed
it a vital interest to prevent any power or group of powers from dominating the
Eurasian landmass.”
Yang mana pernyataan tersebut sangat
mendekati paradigma geopolitik MacKinder.
Rusia, China, Amerika Serikat dan Uni
Eropa secara kompleks telah bersaing dalam melebarkan pengaruhnya pada negara-negara
yang masuk ke dalam spesifikasi Heartland, terutama Timur Tengah.
Mengurai panjangnya pergesekan kepentingan negara-negara di Timur Tengah tidak
akan pernah ada habisnya bahkan tidak akan pernah cukup dalam ratusan lembar
karya ilmiah. Namun, perlu kita cermati, bahwa dalam hubungan internasional
perang adalah salah satu instrument dalam Kebijakan politik luar negeri pada
suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung (dalam artian dukungan
pada salah satu pihak dalam perang).
Jika kita kembali pada sejarah di
Timur Tengah, pada awal tahun 1900. Inggris adalah kekuatan utama dunia.
Menguasai hampir separuh wilayah terutama di timur tengah. Keterlibatan
Inggris di Iraq pada tahun 1917, di Sudan pada tahun 1922, dan tahun 1918
Inggris juga berkuasa di Palestina, begitu
seterusnya. Memudarnya pengaruh Inggris kemudian dibarengi dengan kemunculan
Amerika Serikat sebagai Negara kuat pada Perang Dunia II dan Perang Dingin,
juga turut memainkan hegemoni yang ada di Timur Tengah. Tahun 1980, Amerika
Serikat menjadi penyokong utama Iraq dalam perang teluk melawan Iran, tapi
kemudian pada tahun 2003 USA malah menginvasi Iraq. Tahun 1969 di Sudan, Amerika mendukug
kudeta Ja’far an-Nuamiri serta terlibat dalam membentuk Taliban dalam memerangi
rusia di Afganistan. Rusia, yang
semenjak runtuhnya USSR melebarkan pengaruhnya melalui Iran dan Suriah. China
yang juga muncul menjadi kekuatan ekonomi dunia turut memainkan peranan di
Timur Tengah terutama mengenai kondisi Libya dan Suriah. Dari kesemuanya kita mendapati sebuah hal
yang tidak lagi berbicara mengenai idealism politik, namun berbicara mengenai
kepentingan untuk mempertahankan sphere
dan pengaruh di wilayah yang disebut oleh MacKinder sebagai “bagian penting
untuk dikuasai”.
Mengapa Timur Tengah? banyak
persepektif untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dari persepektif kapital, Timur
Tengah adalah surga bagi sumber kekayaan sumber energi minyak bumi dan gas.
Perdagangan senjata yang besar merupakan salah satu transaksi ekonomi yang
paling menjanjikan serta jalur perdagangan darat yang penting semenjak ratusan
tahun silam. Dari perspektif agama, merupakan tempat lahirnya agama-agama ibrani
yang sangat berpengaruh. Juga merupakan tempat terutama bagi umat Islam dengan
berbagai aliran. Dari perspektif konspiratif, timur tengah yang bersatu dan
berdaulat merupakan ancaman bagi
eksistensi Negara Israel Raya.
Dewasa ini, kemunculan arab spring
yang dalam istilah hubungan internasional di sebut sebagai “democratization wave” menjadi polemik.
Tertutama bila kita menimbang residu
konflik yang terjadi pada akhirnya. Pembantaian umat manusia yang luar biasa
menjadi sebuah harga dalam perubahan yang dialami negara-negara Timur Tengah.
namun, pertanyaanya, bagaimana jika ada kepentingan luar yang membajak revolusi
yang sedang terjadi di Timur Tengah?. Di Mesir, revolusi menggulingkan Hosni
Mubarak yang berujung pada ketidakstabilan setelah revolusi yang dipegang oleh Mursi
runtuh hingga sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan meskipun batal
dilaksankan, yaitu hukuman mati bagi ratusan simpatisannya. Afganistan kini menjadi Negara yang terkoyak-koyak
dalam segala aspek. Libya kini terjebak dalam perang saudara. Suriah juga
demikian halnya, intervensi internasional sepertinya tidak akan dilakukan di
Suriah sebagaimana yang NATO lakukan di Libya.
Sekali lagi, bagaimana jika ada yang
menunggangi revolusi di Timur Tengah? menarik untuk kita simak pernyataan
Snowden mengenai rencana besar USA di Timur Tengah, yaitu “the
hornet’s nest” bahwa Amerika Serikat dan sekutunya berkepentingan untuk
membuat distabilisasi di Timur Tengah. selanjutnya, mengapa gerakan IS (Islamic
State) merubah namanya yang pada mulanya adalah Islamic State of Iraq
kemudian menjadi Islamic State of Iraq dan Suriah (ISIS) dan sekarang Islamic
State?. Simbolisme seperti ini tentunya harus menjadi perhatian kita.
Agenda apa yang sedang dimainkan oleh IS. Arab Spring di Timur Tengah
menjadi sebuah ilusi dan pemikiran bijak yang naif. Liga Arab yang seharusnya
mampu memainkan peranan besar di kondisi Timur Tengah justru tidak terdengar gaungnya.
Sementara di satu sisi, kondisi sosial di Timur Tengah menjadi sangat
mengkhawatirkan.