Thursday, December 25, 2014



BELAJAR PADA NIETZSCHE, AUTO KRITIK RELIGIUSITAS
By: Sitti Aaisyah Sungkilang*



“Seringkali perangkat pengetahuan yang manusia miliki membuatnya memberi penilaian kepada orang lain dan mengecapnya baik-buruk. Atau kegemaran manusia untuk menghierarkikan status social sebagai yang mulia–yang hina, budak-tuan, patron-klein, dan dikotomis atas-bawah lainnya. Dengan pemberian nilai seperti ini selalu ada saja orang yang mendapatkan keuntungan dan yang lainnya kebuntungan.”        
*****


Orang yang fanatik pada agama benci sekali membaca pemikiran Nietzsche. Kenapa? Karena Nietzche menulis kalau dia sudah membunuh “Tuhan”. Nietzsche bagi orang fanatik agama sejenis manusia yang paling terlaknat di dunia, karena telah berlaku kurang ajar, tidak sopan, dan  sok berani kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa makhluk tak berdaya membunuh Tuhan yang Maha Perkasa? Salah seorang dosen saya (seorang Nasrani) juga dulu ketika membahas Nietzsche dia bilang kalau Nietzsche itu orang gila dan sakit mental. Dia benci dan tidak ingin membahasnya. Tidak hanya Netzsche, ada lagi filsuf lainnya dan lebih terkenal, yaitu Karl Marx. Orang fanatic pada agama juga membenci dia gara-gara Marx menulis kalau agama itu candu. Kecanduan berarti ketagihan. Pada hal yang membuat ketagihan itu rasanya seperti mabuk yang menyebabkan seseorang tidak bisa mengontrol diri dan terus-terusan ingin mengkonsumsinya. Padahal “mabuk” itu haram dan dilarang dalam agama (Islam).
Tidak hanya pada dua tokoh ini orang fanatik agama sangat sentiment, semakin kesini semakin banyak yang dibenci, termasuk kepada mereka yang tidak mempercayai Tuhan (atheis), kepada mereka yang berbeda agama, kepada mereka yang berbeda madzhab, kepada mereka yang mendukung komunisme karena bagi mereka komunis adalah atheis secara otomatis, juga membenci liberalisme karena itu pemikiran dari dunia barat yang artinya segala yang dari barat itu semuanya kafir. (beberapa pandangan orang Islam). Tapi herannya mereka tidak membenci kapitalisme padahal itu datanganya dari barat. Tidak pernah terdengar kalau seorang kapitalis adalah atheis. Maka bagaimana jika saya ajukan sebuah tesis bahwa kemungkinan kapitalis adalah politheis?
Seringkali manusia fanatik alergi membaca sesuatu yang bisa menggoyahkan keyakinannya, karena ide bisa membuat orang menjadi murtad dan kafir. Lalu kemudian membatasi bacaan dan lingkungan sehingga dapat menjaga sterilnya keimanan. Saya teringat suatu waktu teman berdebat mengenai upaya sterilisasi makanan pada bayi agar tehindar dari penyakit. Sang anak kesehatan mengatakan segala buah dan sayuran harus dicuci berkali-kali untuk membersihkan dari kotoran dan juga kemungkinan bahan kimia yang tertinggal sewaktu pemupukan. Piring dan gelas harus dicuci dengan air mendidih, jika perlu masak di dalam panci, dsb. Banyaknya aturan-aturan yang diajukan anak kesehatan, membuat teman yang lain hanya nyeletuk “saya dari keluarga miskin dari kecil main di tanah dan lumpur, masih sehat dan kuat sampai sekarang”. Ini sebenarnya contoh yang tidak nyambung dengan tema yang dibicarakan sebelumnya, hanya ingin menunjukkan poin utama bahwa cara pandang  yang kaku dan terbatas justru membatasi manusia untuk bisa lebih berkembang dan bercakrawala luas. Pandangan Plato tentang pengetahuan adalah identik dengan kebaikan sebab mustahil sebuah pengetahuan adalah hampa kebaikan. Maka, apapun status sosial yang dicapai baik dari garis akademik ataupun dari budaya jika korupsi maka bukan orang yang berpengetahuan. Kata Plato demikian. 
Ada sebuah hadits: “Jangan melihat siapa yang bicara tapi simaklah apa yang dibicarakannya”. Ini menunjukkan bahwa manusia hendaknya tidak membatasi menimba ilmu dari siapapun, sebab bisa jadi dari orang yang buruk rupa dan paling jahat di dunia sebuah pelajaran berharga bisa didapatkan. Barangkali pada momen ini kita bisa lihat kenapa Nietzsche terlaknat itu bisa membunuh Tuhan.
Nietzsche sesungguhnya berasal dari keluarga bangsawan bahkan seorang kakeknya adalah agamawan Kristen. Sejak kecil hingga dewasa ia bersekolah di sekolah yang unggul (seminari) dan mendapat pengetahuan yang baik. Dalam hidupnya tidak ada persoalan finansial ataupun tekanan politik. Hanya dia mengidap penyakit seperti kakeknya, yang menyerangnya di bagian otak. Penyakit ini didapatkannya secara genetika. Kehidupan yang datar dan tidak adanya guncangan yang berarti dalam kehidupan memang tidak lalu membuat orang tidak berubah menjadi orang besar atau terkenal atau bintang. Berbeda yang diyakini banyak orang bahwa biasanya ada sesuatu peristiwa besar yang membawa manusia pada titik nadir sehingga darinya ia mendapatkan ilham dan menjadikannya orang yang besar, bangkit dari keterpurukan. Kalau menurut kawan saya orang bule, siapa sih orang di Eropa yang tidak membaca Nietzsche. Bukunya dicetak berkali-kali, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, serta dihujat dan dipuji secara bersamaan. Kenapa dia menjadi terkenal? Sebenarnya bukan hanya karena dia “membunuh Tuhan” namun juga pandangannya tentang manusia yang terkenal; Übermensch atau Super Human (Manusia Super/unggul/tangguh, dll).
Bagi Nietzsche, seringkali perangkat pengetahuan yang manusia miliki membuatnya memberi penilaian kepada orang lain dan mencapnya baik-buruk. Atau kegemaran manusia untuk menghierarkikan status social sebagai yang mulia–yang hina, budak-tuan, patron-klein, dan dikotomis atas-bawah lainnya. Dengan pemberian nilai seperti ini selalu ada saja orang yang mendapatkan keuntungan dan yang lainnya kebuntungan. Seorang yang dianggap baik akan dihormati di masyarkat dan yang dicap buruk  akan dibully di kehidupannya. Sebab yang dianggap baik adalah yang memiliki gelar bangsawan, maka seumur hidup mereka mendapatkan hak istimewa di masyarkat. Sedang mereka yang dari keluarga biasa hidupnya biasa-biasa saja tanpa hak istimewa. Atau dalam dunia akademik biasanya yang punya banyak gelar karena menempuh pendidikan formal (atau karena membayar lebih untuk jalan pintas) akan dianggap orang yang berwawasan luas dan mendapat tempat istmiewa dalam pandangan masyarkat, sedang yang tak menempuh pendidikan formal dianggap orang biasa tak intelek. Demikianlah sifat manusia yang suka sekali memberi penilaian akhirnya tanpa disadari cara berpikir demikian telah menciptakan bentuk penindasan baru. Sebab bermuala dari ide/gagasan akan berimplikasi panjang dalam kehidupan social.
Sistem nilai ini manusia dapatkan dari agama, budaya, ideologi, peraturan Negara, dll. Itu sebabnya, bagi Nietzsche, manusia yang merdeka adalah manusia yang bisa membebaskan dirinya dari tekanan pengetahuan/konsep nilai-nilai itu. Maka dia kemudian dengan bangga memproklamirkan nihilism, artinya paham tanpa nilai. Dia tidak percaya pada agama, budaya, kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan isme-isme lainnya. Dia hanya percaya pada dirinya sebagai sumber pengetahuan. Saya mengetahui apa yang saya inginkan, maka egoisme adalah pengetahuan paling tertinggi.
Ia mengkritisi manusia yang hipokrit, tidak satu kata dan perbuatan. Pertanyaan Nietzsche, jika manusia itu terlahir setara kenapa umat beragama seringkali mempraktikkan hal yang berbeda dari prinsip itu dan menindas satu sama lain? Kenapa manusia menggunakan otoritasnya untuk mengecap orang lain jahat, hina, dll untuk mengamankan posisinya dan mengambil keuntungan? Itu sebabnya dengan nihilism, tak perlu takut untuk berbuat buruk karena buruk itu tidak ada. Dia ada dalam gagasan orang yang takut pada sesuatu di luar dirinya. Hidup hanyalah persaingan, jika menang itu karena manusia itu kuat. Tapi jika kalah, itu karena kemalasannya. Tidak perlu bersembunyi pada system nilai agama, ideologi, dsb. Tidak perlu menyalahkan pada yang lain, salahkanlah diri yang lemah dalam menghadapi pertarungan hidup.
Dalam agama, sumber kebenaran tertinggi adalah Tuhan. Karena menafikkan itu, Itu sebabnya dia menulis, saya telah membunuh Tuhan.

*Penulis adalah orang yang fanatik pada islam

******

Thursday, December 4, 2014


Gejolak Politik di Timur Tengah
by: Mutmainna Syam
(Mahasiswi Program Master Gazi Üniversitesi, Türkey)




Timur Tengah sejak tahun 1904 telah disinggung oleh Mackinder sebagai bagian dari Heartland (pivot area), area yang sangat penting untuk menguasai dunia. Menurutnya, who rules the eastern Europe, rules the heartland, and who rules the heartland rules the world. Tidak menjadi sebuah tanda tanya besar mengapa pergolakan terus saja terjadi di wilayah Timur Tengah (Far East, Middle East, West Asia). Teori ini meskipun banyak menuai kritik, namun menjadi sebuah pengaruh yang besar terutama pada USSR yang pada tahun 1909 yang terus melebarkan kekusaanya dan menaklukan wilayah-wilayah di Asia Tengah dan Eropa Timur. Teori ini telah menjadi pegangan yang kuat terutama jika kita mencermati pernyataan resmi dari G. W Bush pada tahun 1990:
“for most of the century, the United States has deemed it a vital interest to prevent any power or group of powers from dominating the Eurasian landmass.”
Yang mana pernyataan tersebut sangat mendekati paradigma geopolitik MacKinder.
Rusia, China, Amerika Serikat dan Uni Eropa secara kompleks telah bersaing dalam melebarkan pengaruhnya pada negara-negara yang masuk ke dalam spesifikasi Heartland, terutama Timur Tengah. Mengurai panjangnya pergesekan kepentingan negara-negara di Timur Tengah tidak akan pernah ada habisnya bahkan tidak akan pernah cukup dalam ratusan lembar karya ilmiah. Namun, perlu kita cermati, bahwa dalam hubungan internasional perang adalah salah satu instrument dalam Kebijakan politik luar negeri pada suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung (dalam artian dukungan pada salah satu pihak dalam perang).
Jika kita kembali pada sejarah di Timur Tengah, pada awal tahun 1900. Inggris adalah kekuatan utama dunia. Menguasai hampir separuh wilayah terutama di timur tengah. Keterlibatan Inggris di Iraq pada tahun 1917, di Sudan pada tahun 1922, dan tahun 1918 Inggris juga berkuasa di Palestina,  begitu seterusnya. Memudarnya pengaruh Inggris kemudian dibarengi dengan kemunculan Amerika Serikat sebagai Negara kuat pada Perang Dunia II dan Perang Dingin, juga turut memainkan hegemoni yang ada di Timur Tengah. Tahun 1980, Amerika Serikat menjadi penyokong utama Iraq dalam perang teluk melawan Iran, tapi kemudian pada tahun 2003 USA malah menginvasi Iraq. Tahun 1969 di Sudan, Amerika mendukug kudeta Ja’far an-Nuamiri serta terlibat dalam membentuk Taliban dalam memerangi rusia di  Afganistan. Rusia, yang semenjak runtuhnya USSR melebarkan pengaruhnya melalui Iran dan Suriah. China yang juga muncul menjadi kekuatan ekonomi dunia turut memainkan peranan di Timur Tengah terutama mengenai kondisi Libya dan Suriah.  Dari kesemuanya kita mendapati sebuah hal yang tidak lagi berbicara mengenai idealism politik, namun berbicara mengenai kepentingan untuk mempertahankan sphere dan pengaruh di wilayah yang disebut oleh MacKinder sebagai “bagian penting untuk dikuasai”.
Mengapa Timur Tengah? banyak persepektif untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dari persepektif kapital, Timur Tengah adalah surga bagi sumber kekayaan sumber energi minyak bumi dan gas. Perdagangan senjata yang besar merupakan salah satu transaksi ekonomi yang paling menjanjikan serta jalur perdagangan darat yang penting semenjak ratusan tahun silam. Dari perspektif agama, merupakan tempat lahirnya agama-agama ibrani yang sangat berpengaruh. Juga merupakan tempat terutama bagi umat Islam dengan berbagai aliran. Dari perspektif konspiratif, timur tengah yang bersatu dan berdaulat  merupakan ancaman bagi eksistensi Negara Israel Raya.
Dewasa ini, kemunculan arab spring yang dalam istilah hubungan internasional di sebut sebagai “democratization wave” menjadi polemik. Tertutama bila kita menimbang  residu konflik yang terjadi pada akhirnya. Pembantaian umat manusia yang luar biasa menjadi sebuah harga dalam perubahan yang dialami negara-negara Timur Tengah. namun, pertanyaanya, bagaimana jika ada kepentingan luar yang membajak revolusi yang sedang terjadi di Timur Tengah?. Di Mesir, revolusi menggulingkan Hosni Mubarak yang berujung pada ketidakstabilan setelah revolusi yang dipegang oleh Mursi runtuh hingga sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan meskipun batal dilaksankan, yaitu hukuman mati bagi ratusan simpatisannya.  Afganistan kini menjadi Negara yang terkoyak-koyak dalam segala aspek. Libya kini terjebak dalam perang saudara. Suriah juga demikian halnya, intervensi internasional sepertinya tidak akan dilakukan di Suriah sebagaimana yang NATO lakukan di Libya.

Sekali lagi, bagaimana jika ada yang menunggangi revolusi di Timur Tengah? menarik untuk kita simak pernyataan Snowden mengenai rencana besar USA di Timur Tengah,  yaitu “the hornet’s nest” bahwa Amerika Serikat dan sekutunya berkepentingan untuk membuat distabilisasi di Timur Tengah. selanjutnya, mengapa gerakan IS (Islamic State) merubah namanya yang pada mulanya adalah Islamic State of Iraq kemudian menjadi Islamic State of Iraq dan Suriah (ISIS) dan sekarang Islamic State?. Simbolisme seperti ini tentunya harus menjadi perhatian kita. Agenda apa yang sedang dimainkan oleh IS. Arab Spring di Timur Tengah menjadi sebuah ilusi dan pemikiran bijak yang naif. Liga Arab yang seharusnya mampu memainkan peranan besar di kondisi Timur Tengah justru tidak terdengar gaungnya. Sementara di satu sisi, kondisi sosial di Timur Tengah menjadi sangat mengkhawatirkan. 

Friday, November 28, 2014


Bahaya Laten Literalis Dalam Beragama
“Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam Saudi Arabia, bukan berarti kalau tidak pakai jubah dan sorban Islam kita tidak diterima. Rasulallah SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot ya karena tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian yang sama, berjenggot pula. Bedanya kalau Rasul wajahnya mesem (sarat senyum) karena menghargai tradisi setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya kereng (pemarah). Silahkan mau pilih yang mana?”
(Gus Mus)
Untaian kata yang disampaikan Gus Mus ini seakan menyadarkan kita tentang keberagamaan beragama. Namun terkadang kita melupakannya. Tidak sedikit dari kita yang terjabak dalam hegemoni kearaban. Memandang segala sesuatu dari kulitnya. Membaca ayat dari hurufnya, tanpa mau mentadaburi isi dan kandungan yang tersirat di dalamnya.  
Cara pandang kaum neo-literalis, mereka lebih merujuk pada literal teks dari pada meaning dari teks tersebut. Bahkan mereka mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan, dari segi berpakaian (dress style), fashion maupun tingkah laku semua berdasar dari tuntunan al-Qur’an. Bahkan lebih dari itu, mereka mengkritik rasionalitas kaum modern dan nilai-nilai yang bias dengan ‘euro-centricity’. Mereka sangat menentang barat, khususnya mengenai sistem demokrasi. Menurut mereka, sistem demokrasi sangat bertentangan dengan sistem islam. Lebih dari itu, bagi mereka pemerintahan, kekuasaan, dan kedaulatan (al-hakimiyah, wa al-tasyri’, wa al-siyasah) adalah hak priogratif Tuhan dan bukan urusan manusia. Sehingga tidak heran jika banyak dari teman-teman kita yang terjebak dalam pemahaman literal. Sebut saja teman sebangsa kita yang ikut perang di Suriah. Mereka ikut membunuh dan menembak orang-orang yang tak bedosa atas nama agama.
Mereka mengatasnamakan perjuangan mereka atas nama jihad. Dengan melandaskan perbuatanya pada ayat al-Qur’an, yang disebut dengan “ayat pedang” (the verse of sword). Dalam Q.S 9:5 disebutkan “bunuhlah kaum musyrik dimanapun kamu temukan mereka”. memang tidak salah seorang muslim melandaskan perbuatannya dengan dalil al-Qur’an. Namun menjadi masalah ketika pemahamannya itu dilakukan secara literal. Padahal selain ayat itu, al-Qur’an juga menyerukan perdamaian dan kesantunan kepada orang-orang yang berbeda agama. Q.S. 2:256, “tidak ada paksaan dalam beragama”. Artinya, dalam hal ini pemahaman ayat bukan dilakukan secara literal, tetapi maknawi. Abdul Karim Soroush mengatakan bahwa teks al-Qur’an dapat dilihat dari dua fungsi: fungsi esensi (essential function) dan fungsi aksidental (accidental function). Fungsi esensi merupakan makna literal dari suatu teks, sedangkan fungsi aksidental adalah relativitas penafsiran yang dipengaruhi oleh budaya, sosial, dan perkembangan sejarah. Kedua fungsi ini saling berkaitan, menghentikan makna lama dan melahirkan makna yang baru.     
Namun sayang, tidak banyak orang yang paham tentang makna substansi agama. Sehingga yang lahir adalah pengagungan pada nilai-nilai simbolik. Bearagama menjadi momok yang menakutkan. Karena agama manusia saling bertikai, karena agama pula manusia saling membunuh. Alhasil tak jarang dari mereka yang lari dari agama. Bagi mereka, lebih baik meninggalkan agama dari pada beragama tetapi membunuh. Jika demikian jadinya, Lantas apakah semua ini salah agama atau kita yang salah memahami agama?.

Manusia-manusia congkak. Berbaju secuil kekuasaan kerdil –sangat pandir tentang apa yang diyakininya. Belang meliar –laksana kera berang. Bermain sulap digerbang surga. Sehingga membuat malaikat bercucuran air mata.
(Shakespeare : 1975, 182)


Thursday, November 27, 2014


PENDIDIKAN ADALAH KEKAYAAN NEGERI YANG HAKIKI
By: Mutmainna Syam



Nelson Mandela pernah berkata “education is the most powerful weapon which you can use to change the world”. Lihat saja pergerakan kemerdekaan Indonesia pada awalnya diinisiasi oleh mereka yang bersekolah di Belanda yang kemudian sadar dengan kondisi bangsanya. Gerakan generasi pelajar Indonesia membangun sebuah perubahan dalam pencapaiannya adalah sebuah revolusi besar dari sebuah bangsa. Di Kamboja misalnya, kelompok sarjana mampu melawan rezim otoriter pemerintah yang ingin mempertahankan status quo pada saat itu. Mereka sadar bahwa pergerakan berasal dari para kaum cendikiawan. Pendidikan tidak hanya sebagai senjata perubahan tapi juga investasi. Investasi masa depan yang akan dipetik. Pendidikan juga tidak terlepas dari pengaruh sosial. Dan keduanya saling mempengaruhi secara timbal balik.
Di Arab Saudi misalnya, dengan kekayaan minyak yang dimilikinya, pemerintah setempat menerapkan sistem pendidikan gratis bagi seluruh warganya bahkan untuk mahasiswa asing yang berminat melanjutkan studi di Arab, terutama di Riyadh. Subsidi ini tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga kesejahteraan masyarakatnya juga terjamin yaitu dengan diberikannya bantuan bulanan pada setiap kepala keluarga. Akan tetapi, dari kebijakan itu, muncul sebuah gejala sosial dimana karena penduduknya yang terlalu “dimanja” oleh pemerintah, pendidikan bukan menjadi sebuah hal yang terlalu diminati warganya. Sederhananya, mindset selama ini pendidikan dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan dan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan, namun karena di Arab Saudi kebutuhan telah disubsidi dan tanpa pendidikan, kesejahteraan sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi mereka, pendidikan perlahan-lahan menjadi barang yang tidak terlalu penting. Para profesional dan pakar pakar pendidikan, sains dan ilmuwan dewasa ini tidak lagi lahir dari negeri sahara ini, seperti ratusan tahun silam. Umumnya mereka lahir dari daratan Asia, Amerika dan Eropa. Hal ini sangat memprihatinkan. Padahal Arab Saudi merupakan “rumah”  kaum muslimin, dimana ayat al-Qur’an pertama turun di negeri ini yang tak lain adalah perintah untuk membaca “iqra” bacalah…”. Malah justru kini terjabak dalam comfort zone karena kekayaan minyak yang dimilikinya. Sebagai contoh, di Universitas King Abdul Azis, rektor dan kebanyakan staf pengajarnya ternyata bukan dari pribuminya, tetapi kebanyakan mereka adalah orang asing. Bahkan 75 % dari mahasiswanya adalah mahasiswa asing. Meskipun kita tidak bisa pula menafikan bahwa banyak dari generasi muda mereka yang melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Kebanyakan kelas menengah dan kelas pekerja di Arab Saudi adalah orang asing yang umumnya berasal dari Asia Selatan. Dengan subsidi yang begitu besar dari pemerintahanya, hampir semua penduduknya berada dalam strata ekonomi menengah keatas. Sumber kekayaan minyak yang luar biasa besar ini dikelola oleh kerajaan yang juga dinikmati secara langsung oleh rakyatnya. Sistem monarki bekerja dalam kondisi demikian, namun hal ini memunculkan pertanyaan besar, sampai kapan kekayaan minyak Arab Saudi akan bertahan? Jika sumberdaya berupa minyak tersebut habis, apa yang akan terjadi dengan system pemerintahan monarki tersebut?. –Mutmainna- 

Total Pageviews

Student Community in Ankara

Powered by Blogger.

 

© 2013 diskusi ankara. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top