Friday, November 28, 2014


Bahaya Laten Literalis Dalam Beragama
“Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam Saudi Arabia, bukan berarti kalau tidak pakai jubah dan sorban Islam kita tidak diterima. Rasulallah SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot ya karena tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian yang sama, berjenggot pula. Bedanya kalau Rasul wajahnya mesem (sarat senyum) karena menghargai tradisi setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya kereng (pemarah). Silahkan mau pilih yang mana?”
(Gus Mus)
Untaian kata yang disampaikan Gus Mus ini seakan menyadarkan kita tentang keberagamaan beragama. Namun terkadang kita melupakannya. Tidak sedikit dari kita yang terjabak dalam hegemoni kearaban. Memandang segala sesuatu dari kulitnya. Membaca ayat dari hurufnya, tanpa mau mentadaburi isi dan kandungan yang tersirat di dalamnya.  
Cara pandang kaum neo-literalis, mereka lebih merujuk pada literal teks dari pada meaning dari teks tersebut. Bahkan mereka mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan, dari segi berpakaian (dress style), fashion maupun tingkah laku semua berdasar dari tuntunan al-Qur’an. Bahkan lebih dari itu, mereka mengkritik rasionalitas kaum modern dan nilai-nilai yang bias dengan ‘euro-centricity’. Mereka sangat menentang barat, khususnya mengenai sistem demokrasi. Menurut mereka, sistem demokrasi sangat bertentangan dengan sistem islam. Lebih dari itu, bagi mereka pemerintahan, kekuasaan, dan kedaulatan (al-hakimiyah, wa al-tasyri’, wa al-siyasah) adalah hak priogratif Tuhan dan bukan urusan manusia. Sehingga tidak heran jika banyak dari teman-teman kita yang terjebak dalam pemahaman literal. Sebut saja teman sebangsa kita yang ikut perang di Suriah. Mereka ikut membunuh dan menembak orang-orang yang tak bedosa atas nama agama.
Mereka mengatasnamakan perjuangan mereka atas nama jihad. Dengan melandaskan perbuatanya pada ayat al-Qur’an, yang disebut dengan “ayat pedang” (the verse of sword). Dalam Q.S 9:5 disebutkan “bunuhlah kaum musyrik dimanapun kamu temukan mereka”. memang tidak salah seorang muslim melandaskan perbuatannya dengan dalil al-Qur’an. Namun menjadi masalah ketika pemahamannya itu dilakukan secara literal. Padahal selain ayat itu, al-Qur’an juga menyerukan perdamaian dan kesantunan kepada orang-orang yang berbeda agama. Q.S. 2:256, “tidak ada paksaan dalam beragama”. Artinya, dalam hal ini pemahaman ayat bukan dilakukan secara literal, tetapi maknawi. Abdul Karim Soroush mengatakan bahwa teks al-Qur’an dapat dilihat dari dua fungsi: fungsi esensi (essential function) dan fungsi aksidental (accidental function). Fungsi esensi merupakan makna literal dari suatu teks, sedangkan fungsi aksidental adalah relativitas penafsiran yang dipengaruhi oleh budaya, sosial, dan perkembangan sejarah. Kedua fungsi ini saling berkaitan, menghentikan makna lama dan melahirkan makna yang baru.     
Namun sayang, tidak banyak orang yang paham tentang makna substansi agama. Sehingga yang lahir adalah pengagungan pada nilai-nilai simbolik. Bearagama menjadi momok yang menakutkan. Karena agama manusia saling bertikai, karena agama pula manusia saling membunuh. Alhasil tak jarang dari mereka yang lari dari agama. Bagi mereka, lebih baik meninggalkan agama dari pada beragama tetapi membunuh. Jika demikian jadinya, Lantas apakah semua ini salah agama atau kita yang salah memahami agama?.

Manusia-manusia congkak. Berbaju secuil kekuasaan kerdil –sangat pandir tentang apa yang diyakininya. Belang meliar –laksana kera berang. Bermain sulap digerbang surga. Sehingga membuat malaikat bercucuran air mata.
(Shakespeare : 1975, 182)


Thursday, November 27, 2014


PENDIDIKAN ADALAH KEKAYAAN NEGERI YANG HAKIKI
By: Mutmainna Syam



Nelson Mandela pernah berkata “education is the most powerful weapon which you can use to change the world”. Lihat saja pergerakan kemerdekaan Indonesia pada awalnya diinisiasi oleh mereka yang bersekolah di Belanda yang kemudian sadar dengan kondisi bangsanya. Gerakan generasi pelajar Indonesia membangun sebuah perubahan dalam pencapaiannya adalah sebuah revolusi besar dari sebuah bangsa. Di Kamboja misalnya, kelompok sarjana mampu melawan rezim otoriter pemerintah yang ingin mempertahankan status quo pada saat itu. Mereka sadar bahwa pergerakan berasal dari para kaum cendikiawan. Pendidikan tidak hanya sebagai senjata perubahan tapi juga investasi. Investasi masa depan yang akan dipetik. Pendidikan juga tidak terlepas dari pengaruh sosial. Dan keduanya saling mempengaruhi secara timbal balik.
Di Arab Saudi misalnya, dengan kekayaan minyak yang dimilikinya, pemerintah setempat menerapkan sistem pendidikan gratis bagi seluruh warganya bahkan untuk mahasiswa asing yang berminat melanjutkan studi di Arab, terutama di Riyadh. Subsidi ini tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga kesejahteraan masyarakatnya juga terjamin yaitu dengan diberikannya bantuan bulanan pada setiap kepala keluarga. Akan tetapi, dari kebijakan itu, muncul sebuah gejala sosial dimana karena penduduknya yang terlalu “dimanja” oleh pemerintah, pendidikan bukan menjadi sebuah hal yang terlalu diminati warganya. Sederhananya, mindset selama ini pendidikan dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan dan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan, namun karena di Arab Saudi kebutuhan telah disubsidi dan tanpa pendidikan, kesejahteraan sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi mereka, pendidikan perlahan-lahan menjadi barang yang tidak terlalu penting. Para profesional dan pakar pakar pendidikan, sains dan ilmuwan dewasa ini tidak lagi lahir dari negeri sahara ini, seperti ratusan tahun silam. Umumnya mereka lahir dari daratan Asia, Amerika dan Eropa. Hal ini sangat memprihatinkan. Padahal Arab Saudi merupakan “rumah”  kaum muslimin, dimana ayat al-Qur’an pertama turun di negeri ini yang tak lain adalah perintah untuk membaca “iqra” bacalah…”. Malah justru kini terjabak dalam comfort zone karena kekayaan minyak yang dimilikinya. Sebagai contoh, di Universitas King Abdul Azis, rektor dan kebanyakan staf pengajarnya ternyata bukan dari pribuminya, tetapi kebanyakan mereka adalah orang asing. Bahkan 75 % dari mahasiswanya adalah mahasiswa asing. Meskipun kita tidak bisa pula menafikan bahwa banyak dari generasi muda mereka yang melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Kebanyakan kelas menengah dan kelas pekerja di Arab Saudi adalah orang asing yang umumnya berasal dari Asia Selatan. Dengan subsidi yang begitu besar dari pemerintahanya, hampir semua penduduknya berada dalam strata ekonomi menengah keatas. Sumber kekayaan minyak yang luar biasa besar ini dikelola oleh kerajaan yang juga dinikmati secara langsung oleh rakyatnya. Sistem monarki bekerja dalam kondisi demikian, namun hal ini memunculkan pertanyaan besar, sampai kapan kekayaan minyak Arab Saudi akan bertahan? Jika sumberdaya berupa minyak tersebut habis, apa yang akan terjadi dengan system pemerintahan monarki tersebut?. –Mutmainna- 

Total Pageviews

Student Community in Ankara

Powered by Blogger.

 

© 2013 diskusi ankara. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top