By
: Darlis Aziz, S.I.Kom
Politik
Identitas (Political Identity) menjadi motif pembentukan negara Israel dan
konflik berkepanjangan di kawasan Palestina. Politik identitas merupakan bagian
dari politik budaya yang terdiri dari ras, agama, etnis dan budaya.
Brainstormer mencoba mengidentifikasi Politik Identitas sebagai konsep atau
gerakan politik yang fokus dalam keanekaragaman. Argumen dalam diskusi ini
adalah Israel telah berhasil memanfaatkan narasi identitas budayanya untuk
menyatukan persepsi Yahudi di seluruh dunia untuk mereproduksi sebagai
pembenaran sejarah serta alat politik demi perwujudan dari cita-cita nasional
dalam membangun negara bangsa sendiri.
Politik
identitas merupakan sebuah wacana politik tentang kehidupan sehari-hari yang
kategori utamanya adalah perbedaan, didalamnya terjadi permainan dan pergulatan
identitas-identitas perbedaan. Jalan analisis Foucault, seperti aktor-aktor
poststrukturalis kemudian postmodern lainnya menjadi suatu gerakan kritik
terhadap apa saja melalui dekonstruksi, perbedaan dan wacana-wacana kecil
(Abdillah, 2003). Oleh sebab itu saya ingin menyebut bahwa wacana
postmodernisme dalam bahasan ini secara tidak langsung memposisikan diri
sebagai kritik terhadap wacana besar modernitas, khususnya kedalam politik
modern.
Dalam
pendekatan teori persepsi disebutkan bahwa Persepsi adalah pandangan seseorang
yang telah melalui tahapan melihat, merasa, memikirkan dan diolah oleh
pengalaman dan teori yang diyakini. Hasil persepsi ini akan berpengaruh
terhadap pembuatan keputusan sekaligus bentuk prilaku kelompok tersebut secara
keseluruhan. Menurut Robbin (2008) "Perception can have a huge impact
on decision-making and on an organization's behavior in whole". Persepsi-persepsi tersebut kadangkala
memudarkan kenyataan dan salah penafsiran sehingga sering kali menjurus kepada
konflik brutal. Ketika disandingkan dengan realitas memang begitulah yang
terjadi.
Nasionalisme
Radikal yang berkecambah di paruh kedua abad ke-19 itulah yang menjadi akar
munculnya berbagai konflik di Eropa, yang puncaknya adalah Perang Dunia Pertama
dan Kedua, dan berbagai gerakan Anti-Semitisme seperti pada Dreyfus Affair di
Paris yang kemudian membelah Prancis dari 1894 hingga 1906, dan munculnya
pemimpin Anti-Semit di Vienna, Karl Lueger pada 1895, hingga kasus pembantaian
(holocaust) Kaum Yahudi, yang puncaknya pada era Hitler (1933-1945). Dalam
manifestonya, Hitler bahkan menganggap ideologi Kapitalisme sebagai bagian dari
konspirasi Yahudi. Walaupun secara keamanan kaum Yahudi di Eropa mengalami
ancaman eksistensial, tapi fenomena itu juga dapat dibaca secara sosiologis
sebagai kegagalan asimilasi sosial kaum Yahudi dengan masyarakat Kristen Eropa.
Ide
mendirikan sebuah negara mandiri bagi orang Yahudi adalah ide Organisasi Zionis
yang didirikan oleh seorang jurnalis Yahudi asal Austro-Hungaria, Theodor Herzl
(1860-1904). Ide ini merupakan respons terhadap ancaman eksistensial yang
dihadapi kaum Yahudi di Eropa bersamaan dengan bangkitnya gerakan-gerakan
Nasionalis Radikal, yang menjadikan Anti-Semitisme sebagai salah satu pergerakan
Political Identity.
Keputusan
Yahudi mendirikan negara Israel di tanah Palestina, menimbulkan konflik
berkepanjangan. Oleh sebab itulah saya menyebutkan ada potensi negatif yang
tercipta ketika kelompok masyarakat berjuang atas nama identitasnya. Pemisahan
diri dalam rangka membentuk negara merdeka sendiri dengan menarasikan
berdasarkan ikatan identitas yang lebih spesifik seperti, budaya, agama dan
etnis tertentu adalah keinginan paling mendasar manusia, tuntutan untuk
memperolah pengakuan (desire for recognition).
Awalnya
Kaum Zionis punya 4 pilihan negara tempat mereka menampung Kaum Yahudi dari
berbagai belahan dunia; Palestina, Argentina, Uganda, dan Mozambik. Tapi
kemudian mereka memilih Palestina karena justifikasinya secara keagamaan lebih
mudah dilakukan. Dan, itu juga sekaligus memudahkan proses mobilisasi global
Kaum Yahudi untuk berimigrasi ke Palestina dengan menggunakan mantra “tanah
yang dijanjikan”. Termasuk di antaranya memobilisasi para donatur untuk
membiayai mobilisasi imigrasi besar-besaran itu. Kelak kita mengetahui bahwa
salah satu donatur utama mobilisasi imigrasi itu adalah keluarga Rothchild,
pemilik jaringan perbankan terbesar di dunia.
Ide
negara Israel tersebut akhirnya dideklarasikan secara resmi oleh Arthur Balfour
(2 Nov 1917) Menteri Luar Negeri Inggris, melalui surat yang ia kirim kepada
konglomerat sekaligus Ketua Komunitas Yahudi Inggris, Rothchild. Dalam surat
yang berisi dukungan penuh terhadap aspirasi Zionis itu, Balfour antara lain
mengatakan, "His Majesty's
government view with favour the establishment in Palestine of a national home
for the Jewish people, and will use the best endeavours to facilitate the
achievement of this object…"
Deklarasi
itu dilakukan di tengah kecamuk Perang Dunia Pertama yang berlansung dari 28
Juli 1914 hingga 11 November 1918, di mana Inggris, Prancis, dan Rusia
(Alliance) berhadapan dengan Jerman, Austro-Hungaria (Central Power). Dengan
meluasnya medan tempur, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat akhirnya ikut
bergabung dengan Sekutu, sementara Ottoman dan Bulgaria bergabung dengan
Central Power. Seperti yang kita ketahui, perang itu akhirnya dimenangkan oleh
Sekutu. Tapi karena Tsar Rusia terjungkal dalam Revolusi Bolshevik yang
berlangsung dari 8 Maret 1917 hingga 7 November 1917, praktis Inggris dan
Prancis yang kemudian muncul sebagai kekuatan baru dunia.
Perang
selalu begitu dalam sejarah, selalu menjadi alat paling efektif untuk mengubah
peta dan jalannya sejarah secara keseluruhan. Setidaknya ada 4 imperium yang
lenyap dari peta dunia setelah Perang Dunia Pertama itu, Imperium Jerman,
Imperium Austro-Hungaria, Imperium Tsar Rusia, dan Imperium Ottoman. Dan, tentu
saja peta baru dibuat oleh sang pemenang. Dan, itulah awal dari semua perubahan
peta geopolitik di Dunia Islam.
Jika
perang adalah alat paling efektif untuk mengubah peta geografi dan politik,
maka migrasi adalah alat paling efektif untuk mengubah komposisi demografi
penciptaan identitas budaya dan politik baru. Akibat migrasi itu, warga Yahudi
di Palestina berkembang dari 3% dari total 460.000 orang pada 1882 menjadi
31,5% dari total 2.065.000 penduduk Palestina pada 1948, dan menguasai sekitar
78% lahan.
Begitulah
cerita Negara Israel dimulai; warga Yahudi sudah memenuhi wilayah Palestina
sebelum Negara Israel berdiri pada 1948. Pada mulanya adalah konflik penguasaan
lahan yang tidak disadari oleh warga Palestina hingga Intifada Pertama pada
1921, Demonstrasi Besar Al Quds pada 1933, danRevolusi Palestina antara 1936
hingga 1939. Di bawah pendudukan Inggris dan operasi militer milisi Zionis
semua perlawanan itu gagal. Puncaknya adalah perang pada 1948 di mana gabungan
Pasukan Pembebasan Arab di bawah Liga Arab takluk. Negara Israel langsung
dideklarasikan pada 1948 itu juga, dan segera diakui sebagai anggota PBB pada
1949.
Resolusi
PBB nomor 181/1947 sebelumnya, yang tertuang dalam apa yang disebut Palestine
Partition Plan, telah membagi Palestina ke dalam 3 zona. Satu zona dikuasai
pemerintahan Israel, satu zona dikuasai pemerintahan Palestina, dan satu lagi
merupakan zona bersama, yaitu Al Quds atau Yerusalem. Setelah perang 1948,
Israel menguasai wilayah Barat Al Quds, sementara wilayah Timur dikuasai
Jordania. Tapi wilayah Timur Al Quds itu kemudian dicaplok lagi oleh Israel
pada 1967.
Bagi
kaum Yahudi Zionis, 70 tahun waktu yang terbentang antara 1947 hingga 2017
adalah penundaan mimpi Israel Raya akibat kepengecutan para pemimpin Amerika
Serikat dan Eropa. Itu adalah kesia-siaan. Sebab mimpi Israel Raya, yang
digagas Theodor Herzl dan kemudian dikenang sebagai Bapak Negara Israel, tidak
sempurna tanpa Al Quds. Dan. keberanian Trump-lah yang mengakhiri kesia-siaan
itu 6 Desember 2017 lalu. Inilah yang mereka sebut sebagai Deal of The Century.
Inilah perayaan pesta sejarah baru Kaum Yahudi, dimulai dari Deklarasi Balfour
2 November 1917, disempurnakan oleh Deklarasi Trump 6 Desember 2017 yang lalu.