NATIONALISM DISCOURSE OF IDENTITY POLITICS IN
ACEH
Zulfiadi
Ahmad Husein
(PhD Student Political Science University of Gazi)
(PhD Student Political Science University of Gazi)
The discussion about the
topic below will analyze the discourses of nationalism that
continues to evolve in the course of political history of contemporary Aceh.
Aceh for being part of the Republic of Indonesia political to be degraded that
refract Indonesian nationalism in the minds of the Acehnese. Reconstruction of
Aceh's identity and then transformed into a new ethnically-based of nationalism.
The objectives of this study is to look at the reconstruction of Aceh's
identity that integrate with Indonesia's overall identity within the framework
of the establishment of Nationalism. This is related to the dynamics of
Acehnese identity related to negotiations between ethnic nationalism that
was given by the “nature” with civic nationalism
that was constructed by Indonesian State.
Identity is a symbol to identify a
community. Identity then restricted community with the concept of self and
others. The existence of those communities must begin by maintaining its
identity by way of reconstructing the differences between communities. Then
nationalism formed based on the collective consciousness that arises from a
number of communities to unite. Then how a community positioned itself between
civic nationalism and ethnic nationalism.
Aceh's identity tries to integrate with the
national identity to form Nationalism. The identity of is the basis the
Acehnese to defend itself from any threat, even though the State. Nationalism
in Aceh faded when the State fails to be present in the process of forming
civic nationalism in Aceh since Old Order regime, New Order regime until the
Reformation era. So that the hegemony of ethnic nationalism intensified in Aceh
and destructive nationalism civic construction. The resistance against
Indonesian nationalists disappointed then expanded so destructive nationalism
that had been built previously by the strong, and ultimately become a threat to
Indonesian nationalism itself. Aceh's independence, as a new social imaginary,
the more crystallized and hegemonic political discourse in Aceh as a result of
interpretation of ethnic nationalism. Ultimately the hegemonic discourse of
ethnic nationalism also marked the dissolution of discourse the civic nationalism
of Indonesian in the minds of the Acehnese.
Tema di atas memfokuskan
pada kajian wacana nasionalisme yang berkembang dalam perjalanan sejarah
politik Aceh. Wacana nasionalisme yang sejatinya hanya sentralistik di level
nasional kemudian bergeser pada level lokal, pergeseran hegemonik wacana
nasionalisme ini terjadi akibat dari kondisi sosial politik yang berkembang
secara tidak menentu di Aceh. Lalu pergeseran wacana ini menjadi masalah baru
pada tingkat nasional karena mengganggu keutuhan negara. Nasionalisme kemudian dinilai
mendasari perlawanan bersenjata di Aceh. Jika diselami lebih jauh, pewacanaan
ini sebenarnya adalah suatu keniscayaan karena sebagai suatu imagined community,
nasionalisme memiliki dinamika tersendiri.
Kealpaan
Pemerintah dalam memahami bekerjanya imajinasi kolektif yang disebut sebagai
nasionalisme tersebut justru berpotensi memperumit keadaan di berbagai wilayah
di Indonesia. Nasionalisme mempunyai makna beragam dan pemaknaan tersebut
dimanfaatkan menurut sudut pandang dan kepentingan masing-masing pengusungnya.
Apalagi dengan adanya mobilisasi sentimen nasionalistik yang telah mendasari
perlawanan terhadap kolonialis ataupun struktur yang mapan. Hanya saja yang
menjadikan nasionalisme tersebut memiliki signifikansi politik adalah karena
watak ideologis yang melekat dalam imajinasi kolektif tersebut.
Diskusi tentang tema
tersebut nantinya akan menjelaskan landasan kuat tentang bagaimana identitas
berkembang dan menjadi faktor utama dari terbangunnya sebuah imajinasi tentang
komunitas baru. Penelitian nasionalisme berdasarkan sudut pandang politik akan
memetakan wacana nasionalisme di Aceh, kemudian akan berusaha menjelaskan arena dinamika lokalitas yang bersifat otonom
dan gejolak-gejolak internal etnisitas akan sangat menarik untuk dilihat,
terlebih lagi karena pergerakan-pergerakan pada tingkat lokalitas bisa jadi
bersumber dari dalam atau mungkin juga sebagai pengaruh penyebaran ide-ide dari
pusat. Perkembangan internalisasi nasionalisme ini yang kemudian menghasilkan
tumbuhnya chauvinism orang Aceh
terhadap dirinya, dan menutup diri dari keberadaan Indonesia.
Di Indonesia, politik identitas lebih terkait dengan masalah
etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili
pada umumnya oleh para elit dengan artikulasinya masing-masing. Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari reaksi kegelisahan
politik identitas itu atas ketidaksetaraan politik sentralistis Jakarta.
Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam
wacana politik, dan sangat sensitif jika bersinggungan dengan politik
identitas. Dalam hal ini, identitas mampu merusak nasionalisme itu sendiri
sekaligus juga mampu membangkitkan etnonasionalisme yang menjadi dasar
perlawanan baru terhadap negara.
Identitas menjadi instrumen penting yang membentuk sebuah
rasa bersama yang hadir untuk melepaskan diri dari kolonialisasi. Di Aceh,
identitas menjadi hal yang paling dipertahankan oleh masyarakatnya. Identitas
pula yang membangkitkan semangat nasionalisme untuk melawan kolonialisasi.
Dalam sejarahnya, persoalan keinginan bersatu dan berpisah adalah hal yang
sangat biasa. Masyarakat Aceh bisa bersatu dengan kelompok manapun, namun
identitas yang mengakar secara kuat oleh keyakinan beragama tidak dapat
diganggu oleh siapapun yang kemudian menjadi hal paling prinsipil yang tidak
boleh diganggu oleh siapapun. Jiwa nasionalisme masyarakat Aceh yang menjadi
bagian dari Indonesia merupakan satu nafas dalam perjuangan mereka, walaupun
pada akhirnya “kegagalan” nasionalisasi itu sendiri yang menjadi dasar
perlawanan mereka terhadap keberadaan Indonesia.